Rabu, 10 Maret 2010

Hukum untuk si miskin

Hukum begitu tajam menusuk si miskin yang lemah. Sementara pada saat yang sama, hukum begitu tumpul terhadap mereka yang berkuasa dan untuk si Kaya. Bagaimana tidak Aspuri (19) telah ditahan selama 2.5 bulan dengan dalih, kalaupun dapat dijadikan alasan. Pasal 362, KUHP tentang pencurian dengan ancaman hukuman paling lama lima tahun. Aspuri didakwa karena melakukan pencurian sebuah baju. Baju senilai Rp.80.000 milik Dewi, namun baju ini tergeletak begitu saja tak bertuan di sebuah pagar di tempat Aspuri melewatkan perjalanan pulang setelah melakukan aktifitasnya di ladang. Tanpa disangka, akibat perbuatannya ini, Aspuri harus menjalani proses pesidagan di Pengadilan Negeri Serang, Banten. Intuisi kita sebagai seornag manusia biasa bertanya-tanya, "Apakah pantas eorang Aspuri menjalani semua hal tersebut", Suara hati kita tentu saja akan berkata "tidak" walaupun mungkin Hukum di negeri ini berkta lain.

Menurut ilmu hukum yang ada, paling tidak terdapat empat cara penghentian suatu perkara. Pertama, melalui surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh Kepolisian. Adapun alasn dikeluarkan mekanisme ini adalah tidak terdapat cukup bukti yang kuat bukan merupakan suatu tindakan pidana dan dihentikan demi hukum. Melihat mekanisme ini , rasanya sukit dalam kasus Aspuri untuk di berhentikan. Barang bukti berupa baju milik Dewi serta saksi merupakan pegangan yang cukup kuat bagi pihak kepolisian untuk membuktikan tindak pidana pencurian. Cara penghentian yang lain adalah mekanisme surat ketetapan penghentian penuntutan SKP2) yang alasan-alasan untuk dikeluarkannya sma seperti SP# sehingga tidak ddapat diberlakukan kepada Aspuri. Cra lainnay yang tak kalah sulit adalah penghentian penuntutan oleh Jaksa Agung sesuai dengan asas Oportunitas dan pemberian abolisi oleh Presiden Indonesia. Kedua cara terakhir ini memerlukan pertimbangan dari badan kekuasaan yang lainnya. Apakah seorang Jaksa Agung bahkan Presidan Indonesia rela meluangkan waktunya demi Rakyat Jelata yang bernama Aspuri. Berbicara sebelum terekspos media mungkin tampaknya tidak akan rela.

Hukum memang tidak akan memberikan peluang bagi Aspuri utnuk tidak menjalani proses Hukum di Indonesia. Mungkin hal ini merupakan suatu ketidak sempurnaan hukum yang tetap harus dilaksanakan. Kepastian hukum menjadi begitu penting dalam proses bernegara pada zaman moderen saat ini. Apa jadinya jika Supermasi hukum tidak ditegakkan. Mengabaikannya sama halnya dengan membenarkan perbuatan pencurian. Begitulah argumentasi para penganut positiveisme dan kepastian hukum. Itulah sebabnya Stjipto Rahardjo kemudian memberikan suatu antitesis kepada kit abhwa hukum dibuat untuk manusia bukan sebaliknya. Manusia memang bukan mesian atau kalkulator yang jika dimasukkan suatu rumus peristiwa sosial akan menghasilkan input yang sama. Pencuri sebuah baju, yang tergantung begitu saja digagar, kemudian dipersamakan dengan pencuri motor atau bahkan didisamakan dengan kasus korupsi yang mencuri uang negara yang sangat banyak. Kita mungkin akan juga melakukan hal yang sama ketika melihat baju tersebut tergeletak. Bahkan mungkin hakim-hakim yang beretika hukum dansedang memeriksa perkara Aspuri keburu ditangkap ketika hendakn memnberikan baju tak bertuan tersebut ke kantor polisi jika dia berada dalam posisi Aspuri pada saat itu. (Sumber: Kompas;15-2-2010; oleh John Im Pattiwael)

Bagaimana menurut pendapat anda mengenai "Hukum untuk si miskin" ? Silahkan meninggalkan komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...